Bahagia Menjadi Hamba-NYA

“Katakanlah: Sungguh shalatku dan ibadahku,

Segenap hidup dan matiku,

(hanya) untuk Tuhan semesta alam.”

(Terjemahan ayat 162, Surah al-An’am)

Pada akhirnya, seekor ikan hanya akan bahagia kisah hidupnya, jika ia menjalani hidup selayaknya seekor ikan. Berenang dan mereguk segarnya arus air yang dalam. 

Pada akhirnya, seekor elang hanya akan bahagia cerita hidupnya, jika ia menjalani hidup selayaknya elang. Terbang menukik dan merendah, sembari menghirup berkubik-kubik udara di alam luas.

Pada akhirnya, seekor singa hanya akan bahagia dengan menjalani hidup selayaknya kesejatian singa. Tidak sebagai sang harimau. Tidak pula sebagai sang cheetah yang berlari sekelebat angin.

Itulah rumus sederhana -tapi justru paling mendasar- untuk kebahagiaan paling sejati. Hidup sebagaimana layaknya dan seharusnya kita diciptakan. Hidup pada jejak-jalan dimana kita -para makhluk ini- dihadirkan merangkai semesta ini. Hidup pada batas-batas penciptaan kita. Tidak kurang dan tidak lebih.

Setiap makhluk dihadirkan menghirup semesta ini dengan segenap potensinya sendiri-sendiri. Ikan dengan potensinya menjelajah dalamnya air.  Elang dengan potensinya menyusuri setiap lekak-lekuk udara yang semerbak. Singa dengan potensinya menjelajahi dan merajai sisi-sisi belantara. Dan manusia dengan potensi akal fikirannya memimpin jalan pemakmuran dunia…

Mereka -para makhluk itu- berkewajiban penuh meledakkan segenap potensi yang dicelupkan dalam dirinya, yang mungkin bisa kita sebut sebagai “potensi kehambaan”. 

Tapi -di saat yang sama-, para makhluk ini harus memiliki kesadaran penuh sebagai makhluk yang hamba, yang takkan mungkin melampaui batas-batas kehambaan itu. Karena, kapan saja dan di mana saja, mereka bermimpi -yah, bahkan sekedar bermimpi- untuk melepaskan diri dari batas-batas kehambaannya, maka seketika itu juga: hancur-binasalah segenap kebahagiaannya.

 Maka sang ikan mungkin mewujud sebagai ikan yang gemilang. Tapi saat ia ingin melampaui batas-batasnya sebagai seekor ikan, ia pasti akan sengsara.

Sang elang mungkin mewujud sebagai elang yang perkasa. Tapi saat ia ingin merobek batas-batasnya sebagai seekor elang, ia pasti akan binasa.

Sang harimau pun sedemikian juga adanya. 

Manusia pun tak jauh berbeda. Ia mungkin mewujud sebagai manusia yang cemerlang. Tapi saat ia bermimpi menerabas batas kehambaan dan kemanusiaannya, niscaya tercerabutlah serta-merta kisah-kisah bahagianya. 

Bukankah itu yang terjadi pada Fir’aun? Saat si makhluk yang payah itu memproklamirkan diri: 

“…akulah tuhan kalian yang paling tinggi!”

(Terjemahan ayat 24, Surah al-Nazi’at)

Maka itulah muara kebahagiaan kita. Saat “potensi kehambaan”berhasil kita ledakkan dalam “batas-batas kehambaan” kita. Tidak kurang. Apalagi melampauinya.

Maka, tetaplah menjadi hamba, agar hidupmu selalu bahagia…

Dan inilah sekeping kisah tentang betapa manisnya rasa bahagia menjadi hamba-Nya itu…

*** 

Mereka bukan lawan yang mudah…

Ini adalah tentang sebuah imperium besar. Sejarah mencatat namanya dengan penuh rasa segan. Imperium Persia, begitulah nama itu tertoreh dalam lembar-lembar sejarah kekuasaan manusia.

Tapi itu sama sekali tidak mengecutkan jiwa sang hamba yang satu ini. Seorang hamba yang datang dari sebuah tempat yang sama sekali tak diperhitungkan di zaman itu. Nama hamba itu adalah Rib’iy bin ‘Amir.  Tapi ia bukan “hamba biasa”. Ia adalah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Dan hari itu, ia diutus untuk menemui Rustum, panglima besar militer Imperium Romawi. Ia datang sendiri dalam kehambaannya yang sempurna. Berkendarakan kendara paling tak berkelas: seekor keledai pendek. Tampak sungguh, hari itu, ia ingin menampilkan kebanggaannya sebagai hamba-Nya yang biasa-biasa saja…

Namun yang ditemuinya adalah Rustum!

Tapi begitulah manusia. Ketika ia tidak mengecup manisnya sebagai hamba Allah, ia akan mengais-ngais kebanggaan dari kepalsuan. Ia tidak pernah bangga -bahkan- pada dirinya sendiri. Ia selalu membutuhkan “alat bantu” untuk membanggakan dirinya sendiri. 

Itulah yang terjadi pada Rustum. Itulah pula yang menjadi tradisi bangsa Persia. Untuk meruntuhkan jiwa lawan-lawannya, mereka akan menaburi istana-istana mereka dengan emas, sutra, permata dan segala yang kau anggap berkilau. Hingga konon para kisra (sebutan untuk penguasa tertinggi Persia) sengaja membuat mahkota yang super besar hingga jauh melebihi ukuran kepala mereka sendiri. Tapi karena ia harus ditampilkan, maka mahkota itu akan digantung tepat di atas posisi kepala sang kisra duduk bersinggasana!

Tapi Rib’iy bin ‘Amir tak pernah kecut jiwanya dengan itu…

Hari itu, dengan keledai kecilnya yang pendek, ia tiba di istana Rustum. Ia memasuki istana itu, bahkan tanpa turun dari keledainya. Maka jadilah tapak-tapak kaki keledai itu menginjak-injak kemewahan permadani Persia yang menghampar di sana. 

Rustum menunggunya di sana. Di atas majlis kemewahannya. Tapi Rib’iy bin ‘Amir tak peduli. Di sisi sebuah tiang, ia berhenti dan menambatkan tali keledainya di sana. Semua yang hadir di sana memandangnya dalam pandangan setajam sembilu. “Siapa orang Arab tak tahu diri ini? Tak tahu diri sungguh orangnya!” kira-kira sedemikian itulah suara hati mereka berbisik.

Tapi Rib’iy bin ‘Amir tak peduli. Ia turun dari keledainya, lalu melangkah mendekati Rustum tanpa meletakkan senjata dan penutup kepalanya. 

“Letakkan senjatamu!” tiba-tiba prajurit pengawal Rustum menyergah.

Rib’iy berhenti sebentar, lalu menoleh:

“Aku tak pernah bermaksud datang menemui kalian…,” ujarnya membuka percakapan. 

“Panglima kalian inilah yang meminta kami hadir di sini. Maka jika kalian membiarkan aku menemuinya seperti ini, aku akan tetap ada di sini. Tapi jika aku harus melepaskan ini semua, maka lebih baik aku pulang kembali ke negeriku!” tegas Rib’iy bin ‘Amir pada para pengawal itu.

“Biarkanlah ia seperti itu!” titah Rustum di kejauhan.

Rib’iy pun melanjutkan langkahnya. Ia menyeret pedang dan busurnya di atas permadani Persia istana itu. Permadani itu sobek dan koyak begitu rupa. Lalu sambil bertumpu pada busur panahnya yang menancap di permadani, Rib’iy menyimak pertanyaan Rustum:

“Apa sebenarnya yang kalian bawa, wahai Tuan muslim?” 

Dalam ritme ketenangan tak terkira, yang dibalut kebanggaan sebagai hambaNya, ia menjawab:

“Allah telah mengirim kami untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk, menuju penghambaan hanya kepada Allah, Tuhan yang menguasai segenap makhluk!

Kami diutus untuk membebaskan manusia dari kehidupan dunia yang sempit, menuju kehidupan yang lebih lapang!

Kami datang untuk membebaskan mereka dari kezhaliman menuju keadilan Islam!”

Rustum dan orang-orangnya hanya diam terpaku.

*** 

Betapa penuh energinya kata-katamu, Tuan Rib’iy bin ‘Amir!

Tuan datang dari padang pasir yang jauh. Berdiri tegak di hadap panglima perang  sebuah imperium dan peradaban terbesar di zamannya, Persia. 

Tak ada gemetar. Tak ada gentar dalam jiwa. 

Itulah rahasianya. Rahasia para hamba sepanjang masa. 

“Aku hanya hamba bagi Allah, tidak pada yang lainnya.” 

Rahasia ini memiliki banyak implikasi dan konsekwensi. Ia akan mengalir dalam seluruh mata air hidupmu. Bahwa engkau adalah hambaNya dalam kerja-kerjamu, dalam studi-studimu, dalam capaian-capaianmu, dalam kisah cinta halalmu, dalam pengabdianmu, hingga akhirnya dalam kematianmu…

Jika sebagai hamba-lah engkau senantiasa di seluruh mata air hidupmu itu, maka semua kisahmu akan bermuara pada kebahagiaan sejati belaka. Tapi saat kebanggaanmu sebagai hambaNya mulai pupus, maka di situlah jejak kesengsaraan jiwa dan hidupmu akan segera bermula…

Maka, menghamba hanya pada Allah itu memerdekakanmu. Menghamba pada selainNya itu pasti akan memperbudakmu, meski ia bernama cinta!

Akhukum,

Muhammad Ihsan Zainuddin

Ngeblog di https://IhsanZainuddin.com,

berinstagram di: @m.ihsanzainuddin 

Comment List

  • GenCendekia
    February 7, 2022

    Alhamdulillah

  • GenCendekia
    February 7, 2022

    Masya Allah, Keren !

Write a comment