Isra’ Mi’raj, Malam Tak Berhingga, dan “Nalar Kamil”
Hening malam kian bening. Saya beranjak ke teras depan rumah. Matikan lampu. Duduk di sisi kolam berair tumpah dari langit. Menatap lurus ke atas, lewat celah antara bibir atap dan rerimbun dedaunan pohon mangga.
Tampak malam berselimut malam. Tanpa berkas tanpa tempias sinar matahari. Hanya kerlap-kerlip bintang, menambah kian beningnya keheningan malam.
Dan rasa itu pun menyeruak. Rasa yang tetap terjaga seperti dulu, tiga dasawarsa silam, ketika pertama kali saya belajar mengeja Isra’ Mi’raj dengan retina fisika astronomi. Rasa “tak berhingga” malam.
Dan entah, sejak itu, menatap malam kerap hadirkan rasa gaib berkelimpahan itu. Apalagi di malam Isra’ Mi’raj begini.
“Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya untuk memperlihatkan kepadanya sebagian dari ayat-ayat Kami. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
[QS al-Isra’ : 1]
Sambil terus menatap malam, terbersit lagi tanya penuh rindu itu. Bagaimana Allah Pencipta Semesta memperjalankan hambaNya pada malam yang diberkahi itu? Apalagi muaranya sedemikian jauh, amat teramat jauh.
“Di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada Jannatul Ma’wa.”
[QS An-Najm : 14-15]
Saya semakin dalam menatap malam. Ada rasa ingin menelisik. Seperti mencari-cari setitik muara di keluasan tak berhingga itu, muara Isra’ Mi’raj.
Dan walau sadar muara segala rindu itu tak disitu, rasa-rasio saya tetap saja berbisik lirih. Dimana muara itu? Di dimensi mana? Di rasi mana gerangan dimensi itu berpintu?
Malam merupakan ruang-waktu bagi sejumlah peristiwa luar biasa berdimensi spiritual, sekaligus dahsyat secara intelektual.
Isra’ Mi’raj, contohnya. Peristiwa “pada suatu malam” itu tidak saja cukup untuk melumpuhkan nalar jahiliyah, namun lebih penting lagi meningkatkan derajat keingin-tahuan. Nalar fisika saya turut berkerenyit dan berdenyut. Mengeja, dan mengeja lagi.
Pada gilirannya hadir “nalar kamil”. Nalar yang memungkinkan manusia dapat menyaksikan, dengan bening dan hening, hubungan sejati antara intelektualitas dan spiritualitas. Menyaksikan sampan-sampan intelektualitas menemukan dermaga sekaligus samuderanya pada cawan spiritualitas.
Ketika melabuhkan sampan intelektualitas “malam” pada cawan spiritualitas “Isra Mi’raj”, saya seperti menemukan malam yang menjelma ruang-waktu tak berhingga.
Malam, secara alamiah dan ilmiah, dinisbatkan pada zona waktu dimana matahari tidak ada. Lazimnya mulai ketika senja kian meremang hingga fajar kembali menyingsing.
Hubungan eksistensial malam dan matahari sangat erat, meski bersifat diametral dan berkausalitas satu arah. Ada malam saat tidak ada matahari, tidak ada malam saat ada matahari.
Ketika peristiwa Isra Mi’raj itu terjadi, malam di bumi cumalah salah satu malam di tengah keluasan semesta. Ada begitu banyak malam, ada begitu banyak matahari.
Di galaksi Bima Sakti saja, tempat Tata Surya kita bergelayut manja, ada 200 – 400 miliar matahari atau bintang. Begitupun malam. Sementara Bima Sakti sendiri cumalah satu diantara 2 triliun lebih galaksi yang sudah ditemukan.
Waktu perjalanan Isra’ bernisbat pada “suatu malam” di bumi, dengan jarak tempuh “dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsa” yang relatif tidak terlalu jauh. Maka hal itu cukup mudah terpahami.
Tidak demikian halnya dengan perstiwa Mi’raj, dimana Allah memperjalankan hambaNya hingga Sidratil Muntaha.
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril pada waktu yang lain. Di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada Jannatul Ma’wa.“
[QS An-Najm : 13-15]
Jamak terpahami bahwa Sidratil Muntaha berada “diluar” Alam Semesta atau di Dimensi Lain yang berbeda dengan dimensi Alam Semesta. Wallahu a’lam.
Jika demikian halnya, apakah Mi’raj itu mungkin? Is it possible? Pertanyaan itu penting, melecut keingin-tahuan, namun untuk kali ini lebih penting lagi perspektif jawabannya.
Perspektif pertama, bahwa apa yang selama ini tidak mungkin secara intelektual, bukan berarti selamanya tidak mungkin.
Ujung Alam Semesta teramati diperkirakan berjarak sekitar 46,5 miliar tahun cahaya, merunut pada perkiraan jari-jarinya. Artinya, jika perjalanan Mi’raj ditempuh dengan kecepatan cahaya, butuh waktu 46,5 miliar tahun atau lebih untuk tiba “diluar” Alam Semesta.
Dalam pendekatan fisika klasik, hal itu mustahil dilakukan. Namun pendekatan teori relativistik umum menghadirkan secercah kemungkinan.
Tahun 1935, Albert Einstein dan Nathan Rosen mengemukakan adanya objek misterius di angkasa yang dapat menghubungkan dua titik berjauhan dalam dimensi ruang dan waktu. Objek itu, mereka beri nama “jembatan Einstein-Rosen”, akan menelan materi yang masuk lalu “memuntahkannya” di tempat lain.
Objek itu kemudian populer disebut “lubang cacing” sesuai nama yang dicetuskan Wheeler pada tahun 1957.
Saya belum dapatkan secuilpun riwayat atau hikayat yang menyiratkan bahwa perjalanan Mi’raj melalui lubang cacing itu. Tetapi bahwa objek misterius itu ada, dan dapat menghubungkan dua titik berjauhan pada Semesta, hal itu dapat menjelaskan perspektif jagat intelektual terhadap peristiwa Mi’raj : mungkin dan logis!
Perspektif kedua, bahwa apa yang tidak mungkin secara intelektual, bukan berarti tidak mungkin secara spiritual.
Perspektif ini, sesungguhnya, lebih mendasar. Bukan saja dapat menjembatani dua zona berbeda dalam dimensi ruang dan waktu, tetapi juga antara dua dimensi berbeda. Termasuk jika Sidratil Muntaha itu adanya di Dimensi Lain, dimensi yang berbeda dengan Alam Semesta.
Tentu saja dibutuhkan nalar kamil, untuk itu. Agar kuasa melihat bagaimana sampan-sampan intelektualitas, seperti hukum-hukum fisika dan objek-objek misterius di alam semesta, berdermaga sekaligus mensamudera pada cawan spiritualitas.
Dengan mengorbit pada derajat nalar kamil, kita terhindar dari membenturkan ayat-ayat qauniah dengan ayat-ayat qauliah, fikiran dengan firman, intelektualitas dengan spiritualitas.
Yang terbit justru sebentuk kearifan historis. Bahwa tidak sedikit sampan intelektualitas yang butuh rute dan waktu begitu panjang untuk melayari secawan spiritualitas. Bisa lintas abad, bahkan sampai lintas millennium.
Isra’ Mi’raj, misalnya.
AM Iqbal Parewangi
CEO GenCendekia
Ketua Dewan Istiqamah ICMI Muda
Dewan Penasehat BKPRMI
Dewan Pakar PARMUSI