Mengilmui Kehidupan
“Salah satu tanda baiknya keIslaman seseorang
adalah saat ia meninggalkan
apa yang tak berguna (untuk akhirat)nya…”
(Hadits Nabi diriwayatkan
oleh al-Tirmidzi dalam Sunannya)
Zaman kehidupan kita semakin mendekati akhirnya. Kita menyebutnya akhir zaman…
Di akhir zaman ini, kita nyaris tak lagi kekurangan informasi. Informasi berlimpah-limpah di hadapan kita, sehingga pikiran kita seringkali dibuat “mual” karenanya. Teknologi internet-lah si tersangka utamanya. Internet benar-benar mengubah segalanya. Semua informasi nyaris berada dalam genggam tangan kita. Yang kita butuhkan dan yang tak kita butuhkan. Yang kita inginkan dan yang tak kita inginkan.
Pasal internet, ragam profesi baru lahir ke muka bumi. Programmer, desainer grafis, internet marketer, reviewer, blogger, dan tentu saja yang tak boleh dilupakan sebagai profesi paling meledak di 2 tahun terakhir ini: Youtuber dan Podcaster!
Ke depan, sangat mungkin lahir ragam nama profesi baru, entah apa. Tapi obsesi segenap manusia tetap satu saja: ingin bahagia.
Tapi payahnya kita ini, kita seringkali gagal mengilmui dan menemukan jalan pulang kebahagiaan itu. Persis seperti kisah seorang nelayan sederhana berikut ini. Kisah yang dihikayatkan oleh seorang ‘alim besar dari India, Syekh Abu al-Hasan al-Nadwy…
***
Hari itu, tiga anak sekolah terpelajar berlayar membelah lautan di atas sebuah kapal kecil. Tampak gembira sahaja wajah-wajah mereka itu. Saling bercanda dan bergurau senda. Laut sekilas tampak tenang, dan kapal kecil itu berlayar sejahtera di pelataran laut luas. Nahkodanya -jika bisa disebut demikian- “hanyalah” seorang nelayan sederhana yang bahkan buta huruf dan tak pernah menikmati aroma sedap bangku-meja sekolah…
Itulah pasalnya, anak-anak terpelajar itu mulai mencandai nelayan itu.
“Paman, ngomong-ngomong Anda sudah pernah belajar ilmu saja sejauh ini?” tanya seorang dari mereka.
Paman Nelayan itu hanya tersenyum kecut.
“Tidak satu pun, Anakku…Tidak satu pun,” jawabnya. Mungkin ada sedikit nafas penyesalan dalam jawaban itu.
“Tidakkah Paman pernah mempelajari ilmu alam sebelumnya?” tanya anak itu lagi.
“Sama sekali tidak pernah, Nak…Aku bahkan belum pernah mendengar nama ilmu itu sebelum ini,” jawab Paman Nelayan itu dalam lugu.
Anak-anak itu semakin bernafsu lebih dalam mengunjuk diri mereka.
Tiba-tiba seorang dari mereka berucap:
“Tapi Paman pasti pernah mempelajari ilmu aljabar, perbandingan dan geometri, bukan?”
Jelas sekali itu adalah pertanyaan angkuh. Semerbaknya terlalu jelas menapuk dada. Jawabnya sebegitu benderangnya dari seorang nelayan yang buta huruf.
“Wah, itu lebih aneh lagi, Anakku…Kalian harus percaya bahwa baru detik ini sajalah aku mendengarkan nama-nama aneh itu dalam hayatku!” jawab Paman Nelayan itu, tepat persis seperti dugaan.
Lalu anak yang lain pun tak sabar untuk bercakap:
“Nah, kalau ilmu geografi dan sejarah pasti Paman pernah membacanya, bukan?”
Paman Nelayan itu terdiam sejenak dua jenak. Lalu menjawab sambil menghela nafas dalam bingung:
“Nak, yang baru kau sebutkan itu nama apa? Aku sungguh tak mengerti…”
Mendengar jawaban terakhir itu, ketiga anak terpelajar itu tak lagi tertahankan. Suara tawa mereka tumpah hingga gemanya membelah udara laut. Mereka tertawa sejadi-jadinya dalam tatapan lugu Paman Nelayan itu. Dalam suara tawa yang belum lagi genap dan usai itu, seorang dari mereka bertanya lagi:
“Paman, ngomong-ngomong berapa usia Paman sekarang?”
“Usiaku 40 tahun sekarang ini, Nak…” jawab nelayan itu.
“Empat puluh tahun? Itu berarti Paman telah menyia-nyiakan 40 tahun usia Paman tanpa mempelajari ilmu apapun!” ujar anak terpelajar itu.
Dan Paman Nelayan itupun hanya bisu dan terhenyak dalam jiwa yang penuh kecamuk tak tentu rasa dan arah. “Memang benar, aku tak pernah menghirup semerbak segala ilmu itu, tapi…,” begitu hatinya membisik tanpa suara.
Tapi…
***
Waktu di laut itupun berputar. Angin berhembus mengubah segalanya. Air laut tidak lagi datar. Riak kecilnya berubah menjadi gelombang yang tak sederhana. Kisah perjalanan kapal kecil itu seketika tidak lagi sebagai sebuah kisah yang indah. Gelombang air berubah selayaknya lidah-lidah raksasa yang siap menelan apa saja di hadapnya…
“Anak-anak terpelajar” terdiam dalam rasa takut yang memenjara. Kisah-kisah canda tenggelam seketika bersama gelombang yang perlahan menggila. Suara-suara tawa menjelma menjadi suara rintih tangis yang lenyap dalam udara laut yang meraung. Wajah mereka tak terlukiskan lagi melihat kapal kecil itu terombang-ombing tak berdaya…
Pada titik itulah, Paman Nelayan yang buta huruf itu tersenyum. Ia tersenyum melihat wajah-wajah para terpelajar itu semakin pucat dipeluk rasa takut tak terkira.
Di tengah gejolak lautan itu, dengan tenang ia bertanya kepada anak-anak terpelajar itu:
“Wahai anak-anak muda, ilmu apa sajakah yang sudah kalian pelajari di bangku sekolah kalian?”
Anak-anak itu tidak mengerti soalan. Mereka terlalu bodoh untuk menangkap maksud soalan itu dalam situasi beraroma kematian itu. Tapi mereka terlalu lugu kali ini. Meski tak lagi dengan rasa bangga, mereka tetap saja menyebut senarai ilmu yang telah mereka pelajari di ruang-ruang kelas.
Mereka tidak lagi terpelajar! Mereka sungguh tidak mengerti rahasia di balik tanya Paman Nelayan itu…
Usai menyimak ulang senarai nama ilmu para siswa terpelajar itu, Paman Nelayan itupun tertawa renyah. Dalam tawanya yang segar itu, ia bertutur:
“Nah, anak-anakku…seperti yang kalian tahu, kalian telah mempelajari berlimpah-limpah ilmu yang aku sendiri bahkan belum pernah mendengarkannya. Tapi apakah kalian telah mempelajari ilmu menyelamatkan diri dari gelombang lautan ini? Apakah kalian sudah mengilmui: jika kapal ini terbalik, bagaimana kalian berenang hingga selamat tiba di tepi pantai??!”
Para terpelajar itu tertegun. Soalan Paman Nelayan itu sungguh menusuk tajam ke segenap diri mereka.
“Paman Nelayan, demi Allah, itulah satu-satunya ilmu yang belum pernah kami pelajari sungguh-sungguh…,” jawab mereka.
Pada detik itulah, suara tawa Paman Nelayan itu membahana berdentam di udara.
“Ha…ha…ha….hai anak-anak muda! Jika aku telah menyia-nyiakan 40 tahun usiaku karena mengilmui ilmu-ilmu itu, maka sekarang aku katakan: kalian telah membuang dan menyia-nyiakan seluruh usia kalian dalam lautan ini karena kalian tidak bisa berenang! Semua ilmu yang kalian pelajari itu takkan dapat membantu kalian di tengah gelombang ini? Di tengah gelombang ini, hanya ada 1 ilmu yang dapat menyelamatkan kalian: ilmu berenang. Sayangnya, kalian tidak punya ilmu itu!”
Dan kisah “para terpelajar” itupun usai di situ…
Kisah “senarai ilmu dari ruang-ruang kelas” itu berakhir…
Berakhir dan tertelan dalam gelombang laut yang menari…
***
Seperti yang kukatakan padamu: kisah hidup kita akhir zaman ini dipenuhi oleh tumpahan informasi tak terkira. Semuanya meluber hingga kita mengalami over-shock -semacam keterkejutan di atas ambang batas- atas semua itu.
Malah seringkali, kita menjadi “manusia ingin tahu segala”. Pagi belajar ini, siang belajar itu, malam belajar ini. Dalam ruang-ruang grup WA kita, kita akan disuguhi “menu informasi” yang entah untuk kesekian kalinya dibagikan secara berantai.
Dan kita sungguh-sungguh “mual” atas keberlimpahan itu!
Tidak hanya “mual”. Yang lebih parah dari itu adalah kita menjadi insan yang kehilangan orientasi hidup. Cita-cita diri silih berganti dalam hitungan jam, karena di Youtube -misalnya- selalu hadir daya tarik baru.
Tapi yang separah-parahnya kepecundangan adalah saat kita, sang insan ini, lupa mendaras-kaji dan melatih diri agar lebih prigel-terampil mengarungi “gelombang lautan dunia” ini hingga berlabuh dengan selamat di tepian pantai Akhirat, dimana segenap puncak kebahagiaan menanti akhir kisah kita.
Selayaknya 3 siswa terpelajar itu, mungkin segala ilmu, informasi dan life-skill telah disematkan dalam diri, kecuali satu. Dan yang satu itu adalah panduan hayat Akhirat! Karena kita tak hanya hidup sekali ini sahaja. Seusai kisah dunia, masih ada kisah tentang Akhirat.
***
Di titik itulah, Sang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandu kita kepada 1 skill penting dalam menerabas keberlimpahan isu dan informasi di akhir zaman ini. Skill keberanian dan keteguhan memilih dan memilah mana yang penting dan yang tidak penting. Tentu saja “penting” dari sudut pandang Akhirat.
Beliau bertitip pesan:
“Salah satu tanda baiknya keIslaman seseorang
adalah saat ia meninggalkan
apa yang tak berguna (untuk akhirat)nya…”
(Hadits Nabi diriwayatkan
oleh al-Tirmidzi dalam Sunannya)
Maka pesan ini adalah tentang keberanian mengatakan “tidak” terhadap semua yang mengacaukan akhiratmu. Ini adalah tentang keberanian mengatakan “iya” terhadap semua yang mengilaukan cahaya akhiratmu.
Maka belajarlah hingga jauh sejauh-jauhnya. Bacalah hingga titik analisamu yang paling tajam. Tulislah hingga ke tetesan tinta paling akhir di penamu. Bicaralah hingga ke titik orasimu yang paling menggetarkan. Daraslah segenap ilmu hingga ke titik akalmu yang paling gemilang. Tapi…
Tapi di ujung semua itu, pastikan saja bahwa semua itu akan menuntun kebahagiaanmu di “gelombang lautan” Akhiratmu. Pastikan saja bahwa semua itu tidak sekadar menjadi “sampah” dalam “ransel” Akhiratmu. Tak berguna sama sekali.
Maka itulah “ilmu kehidupan” yang sesungguhnya…ilmu yang mengakhiratkan.
Akhukum,
Muhammad Ihsan Zainuddin
Ngeblog di https://IhsanZainuddin.com,
berinstagram di: @m.ihsanzainuddin